Posted on 30 Nov 2017
Perubahan masyarakat agraris menjadi industri disorot dalam pertunjukan teater berjudul Widji yang dipersembahkan Teater Minatani Pati. Lakon tersebut hasil adaptasi naskah berjudul Buried Child yang ditulis pada 1979 oleh Sam Shepard penulis terkemuka Amerika.
Kata "Widji" yang berarti biji, menjadi gagasan pokok dalam pertunjukan di Gedoeng Djoeang, Pati, Selasa (21/11) malam. Sekira pukul 19.30, ratusan penonton disuguhi dengan munculnya tiga orang penari. Dengan membawa "wakul" dan sosok bayi para penari menjadi penanda awal pertunjukan. Diiringi sayup-sayup lagu dengan lirik "Ibu bumi kang ngayomi. Ibu bumi dilarani. Ibu bumi kang ngadili" yang diulang berkali-kali.
Lakon Widji merupakan gambaran kondisi masyarakat dalam skala kecil yakni keluarga, imbas dari perubahan sosial masyarakat agraris menjadi industri. Munculnya penari merupakan benih persoalan yang kemudian disebut sebagai bencana oleh tokoh kakek bernama Soekotjo. Tokoh Soekotjo dimainkan secara apik oleh Arif Khilwa, seorang sastrawan dan guru Madrasah Aliyah di Kajen, Margoyoso.
"Sukoco itu seorang petani yang semula memiliki lahan luas. Petani di pedesaan yang punya harta melimpah. Namun semuanya lenyap dan yang tersisa hanya kekacauan di dalam keluarga. Penyebabnya adalah istrinya sendiri, Kinasih, yang tergiur oleh kemewahan duniawi," ungkap Dewa, sutradara pementasan.
Tokoh Kinasih dimainkan oleh Andira Astuti, seorang mahasiswi psikologi dan juga aktif di berbagai kelompok teater. Interaksi Soekotjo dan Kinasih di awal pentas menjadi dasar bangunan sebuah pementasan yang menyuguhkan bagaimana kekacauan menyelimuti keluarga petani tersebut.
Bukan hanya gambaran suami-istri yang tak harmonis, kekacauan juga tampak dari seorang tokoh bernama Tedjo yang mengalami tekanan mental. Tokoh anak tertua di dalam keluarga tersebut, diperankan oleh Miftahur Rohim, seorang guru Madrasah Tsanawiyah di Kajen Margoyoso.
Dewa memaparkan, tokoh Tedjo mengalami tekanan mental yang berat, sehingga kesulitan mengaktualisasikan dirinya sendiri bahkan terkadang bertingkah konyol. "Sebelum kondisi perekonomian keluarganya ambruk, Tedjo adalah seorang mahasiswa. Kalau Sukotjo, hanya berada di dalam rumah usai semua lahan pertaniannya habis terjual. Sedangkan Kinasih, perempuan yang gemar main laki-laki," ujar bapak satu anak ini.
Di tengah betapa ruwet dan panasnya suasana di keluarga tersebut, muncul dua tokoh remaja yang bernama Widji Wijoyo, dimainkan oleh Fais Urhanul Hilal dan Aster, kekasihnya. Tokoh Aster diperankan oleh Laksmi Anindya Cahyanti, seorang cerpenis dan guru honorer.
Dengan penuh semangat, Widji bermaksud memperkenalkan Aster kepada keluarganya. Yakni kepada Kakek Soekotjo, Nenek Kinasih, dan Paman Wigantoro. Namun ternyata, keberadaan Widji seolah tidak diterima. Sebab sang kakek mengaku tidak mengenalnya. Bahkan Widji terperanjat lantaran Tedjo, ayahnya, yang semula diduga berada di kota, ternyata juga berada di rumah itu.
Ketika persoalan menjadi semakin rumit, tokoh bernama Wigantoro muncul. Wigantoro merupakan adik dari Tedjo. Tokoh yang digambarkan sebagai seorang yang cacat fisik tersebut mampu dimainkan dengan menarik oleh Angga Widhi P, seorang fotografer dan juga guru honorer.
Bahkan sebuah adegan antara Wigantoro dan Aster pada pertengahan babak menjadi perhatian khusus para penonton. Menurut sutradara, adegan itu sengaja dimunculkan sebagai bentuk penokohan Wigantoro yang haus perempuan. "Tentu saja tidak secara fulgar, namun penonton memahami maksud adegan itu," jelasnya.
Di ujung pertunjukan, penokohan apik yang dibawakan Laksmi sebagai Aster membuat keruwetan di dalam keluarga tersebut perlahan terurai. Intensitas tokoh Aster akhirnya berhasil menguak rahasia besar di keluarga Soekotjo.
"Akhirnya terkuak, bahwa Widji ternyata memang bagian dari keluarga tersebut. Lebih dari itu, bahkan terbongkar bahwa Widji merupakan hasil perselingkuhan antara ibu dan anak. Yakni Tedjo dan Kinasih," ungkap Dewa.
Riuh tepuk tangan ratusan penonton menjadi penanda berakhirnya pentunjukan yang melibatkan para musisi kenamaan di Kabupaten Pati pada tim ilustrasi musik tersebut.
Sebagian penonton mengapresiasi pentas produksi Teater Minatani ke 13 tersebut. Sebagaimana diungkapkan Alfiyanto, seniman asal Semarang. Dikatakannya, kesan dipaksakan muncul dari pertunjukan lakon Widji. Bahkan dia menyebutnya nekat.
"Saya tidak mendapatkan sesuatu dari pementasan tadi, saya tunggu-tunggu, apa sebenarnya fokus yang dituju, persoalan sosial atau pengakuan seorang anak di dalam keluarganya," ungkapnya.
Immam Bucah, seniman asal Pati mengungkapkan, apa yang dilakukan Teater Minatani ibarat berangkat perang namun tidak membekali diri dengan senjata yang memadai. Imam juga menyinggung soal komposisi warna baik kostum pemain, setting panggung dan pencahayaan. Diutarakan juga terkait pergerakan tokoh di atas panggung yang juga harus memperhitungkan sisi fotografi.
Penonton lain, Pendi Subarong mengaku, tertarik dengan pertunjukan dengan naskah Widji yang merupakan adaptasi naskah berjudul Buried Child karya Sam Shepard penulis terkemuka Amerika. Sebab, kata dia, dalam konsep pertunjukan realis, Sam Shepard dikenal sangat kental dengan nuansa absurditas.
"Menarik sekali, keberanian menerjemahkan sendiri, mengadaptasi dari naskah asli yang berjudul Buried Child hingga menjadi Widji. Perubahan sosial masyarakat agraris menjadi industri, sangat dekat dengan kondisi di Pati," ungkapnya. (fn/FN/MK)