Sebagian Petani Enggan Beralih Kepupuk Bersubsidi, Kenapa?

Posted on 17 Nov 2017


Sebagian Petani Enggan Beralih Kepupuk Bersubsidi, Kenapa?

 

Pengunaan pupuk bersubsidi belum sepenuhnya dimanfaatkan petani di Kabupaten Pati. Pasalnya, mereka khawatir jika mengunakan pupuk tersebut, akan merusak Ph tanah dan gagal panen. Kepala dinas Pertanian Muhtar Efendi mengatakan, saat ini baru 50 persen petani yang mengunakan pupuk bersubsidi. Mereka sudah bisa menguasai teknik dalam mengunakan pupuk swadaya. “Ketercukupan pupuk berdasarkan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) di Kabupaten Pati mencapai 20 ribu ton pada 2017. Dari kuota itu, alokasi dari Provinsi Jawa Tengah, yang diperuntukan bagi petani di Pati hanya 10 ribu ton,”ungkapnya. Lebih lanjut, secara legalitas produksi pupuk sudah banyak dikembangkan para petani di beberapa tempat dengan istilah pertanian sehat. Karena produktifitasnya tinggi, meskipun belum ada yang bersertifikasi dari Lembaga Sertifikasi Organik (INOFICE). Pihaknya mengaku belum memiliki data secara detail petani yang masih mengunakan pupuk swadaya. “Meski kami belum punya khusus untuk data-data terkait hal tersebut. Agar petani beralih organik itu bertahap dan perlu waktu untuk penyesuaian adaptasi tingkat lahan dan juga tanamanannya. Kalau spontan, memang masih tinggi penggunaan pupuk swadaya,” katanya. Selain itu, untuk penjualan beras Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) RI masih menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Masih dibawah hasil padi yang diolah oleh perusahaan swasta yakni seperti raja lele, yang harganya lebih mahal dari HET. “Karena yang diterapakan pemerintah melalui Menperindag, masih berpacu pada kwalitas harga premium. Sehingga tidak bisa lebih tinggi dengan beras yang kwalitasnya lebih bagus, karena belum mengatur ketentuan kwalitas super,”imbuhnya.(po/PO/MK)