Posted on 18 Okt 2017
Memiliki kemampuan lebih dalam bidang sastra, Noer Lutfi memilih menempatkan dirinya sebagai motor penggerak gairah menulis bagi pemuda di lingkungannya. Bukan hanya melalui ruang kelas dalam berbagai pelatihan, warga Sekarjalak, Margoyoso tersebut juga menyasar warung kopi sebagai tempat menularkan ilmunya.
SEPERTI berada di suatu tempat yang entah di mana, namun tidak terasing. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat ketika berada di rumah Noer Lutfi di Sekarjalak, Margoyoso. Pada ruang depan, kesan klasik muncul dari adanya foto hitam putih sejumlah tokoh dan orang-orang di masa lalu. Lampu minyak, lukisan dan puluhan kaset pita para musisi lampau juga tertata rapi pada dinding ruangan. Sebagian berwarna hitam dan separuh dicat berwarna putih.
Di dalam ruangan berlantai kotak-kotak dengan warna mirip abu-abu tersebut, berbagai barang antik seperti sketsel, patung dan telephon meja yang tidak lagi berfungsi juga tertata. Kesan klasik dan nyentrik menjadi lengkap dengan adanya lapisan debu tipis dan beberapa sarang laba-laba.
"Memang biar agak berdebu, kan asik," begitulah cletuk pria gondrong yang akrab disapa Aluth itu.
Masuk ke ruang tengah, arah mata disambut dengan keberadaan tiga lemari kaca bernuansa sogan yang penuh terisi dengan ratusan buku. Sementara salah satu dinding di ruangan itu, terpaksa dilirik lantaran berwarna Pink dengan puluhan botol minuman klasik yang ditata pada almari setinggi dada.
Sembari duduk di kursi goyang yang tepat menghadap dinding dengan sejumlah foto beberapa wanita, pria kelahiran 16 Maret 1975 itu mulai bercerita tentang perjalanan menulisnya. "Setiap hari, saya kerjaannya menggoreng tahu," kata Aluth sembari tersenyum.
Menggoreng tahu, kata Aluth, memang menjadi aktivitas yang kini dilakoni saban hari. Tahu tersebut biasa dijual dengan cara dititipkan ke sebuah warung penjual Mie tak jauh dari rumahnya. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro itu mengaku, justru menemukan kebahagiaan dengan menggoreng tahu ketimbang menjadi guru honorer, sebagaimana tawaran yang sering datang kepadanya.
"Dulu, saya sempat ingin menjadi layaknya orang pada umumnya. Memiliki pekerjaan yang berstatus jelas. Sampai saya merantau ke Jakarta menjadi karyawan pabrik," ungkapnya.
Namun proses pencarian tersebut berakhir ketika ibundanya jatuh sakit sehingga dia memutuskan pulang. Lantaran tidak mempunyai pekerjaan, membuat tahu goreng akhirnya menjadi pilihan. Penggoreng tahu merupakan pekerjaan orang tua yang kemudian dilanjutkannya. "Dengan menggoreng tahu, saya bisa merawat ibu. Ada kebahagiaan tersendiri yang saya rasakan," ungkapnya.
Menggoreng tahu yang hanya dilakukan ketika hari menjelang sore itu membuat Aluth banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Terlebih dalam penulisan puisi, meski sesekali kali sejumlah cerpen dan artikel juga lahir dari tangannya. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 70 buku memuat karya sastra pria dengan nama pena Aluth Pathi itu.
"Untuk antologi puisi, ada sekitar 70 an buku, yang di dalamnya terdapat puisi saya," timpalnya.
Menurut Aluth, menulis merupakan bentuk petualangan tersendiri. Dia merasa eman jika pengalamannya saban hari sekedar lalu lalang dan tidak menetas pada tulisan. Lantai dasar itulah yang akhirnya membuat Aluth banyak mengabdikan dirinya kepada dunia sastra. Di antaranya retasan semangat kepada warga sekitar untuk berkarya khususnya dalam sastra. Al hasil, beberapa kelompok sastra akhirnya bangkit dan lahir.
Seperti sanggar seni Sang Saka Kecamatan Margoyoso yang bangkit kembali sejak keberadaannya di tahun 1978. Selain itu juga terbentuknya komunitas kesenian Oyot Jati yang fokus pada sastra, musik, dan kampanye lingkungan.
Pada 2012, Aluth yang juga bergabung dengan komunitas Gosek Tontonan, mendirikan Komunitas Gandrung Sastra dengan sejumlah rekannya. Selain memotivasi masyarakat Pati Utara untuk bersastra, kegiatan panggung bebas sastra pun kerap dihadirkan ditengah masyarakat.
Dalam kegiatan itu, bukan hanya sejumlah sastrawan besar yang meluangkan waktu untuk meramaikan acara, sejumlah buku antologi puisi juga terlahir dari komutitas tersebut. Selain itu, Aluth juga tetap konsisten dalam Lingkar Study Warung Kopi yang juga digagasnya sejak tahun 2008. Kegiatan itu merupakan konsep sekolah sastra dalam bentuk non formal. Baik untuk diskusi hingga membedah karya sastra.
"Para pelajar juga sering kemari. Dan saya senang seperti itu, mendampingi saat diskusi, sharing hingga memfasilitasi penerbitan antologi puisi. Siapa saja, kita bisa ngobrol atau diskusi bareng," jelasnya.
Sejumlah antologi puisi yang telah terbit antologi puisi Santri Kajen Tolak Korupsi, Sapa Sira dan Wajah Negeri. Aluth mengaku, ingin fokus mengabdikan ilmunya bagi anak muda yang ingin berkarya. Terutama bagi mereka yang seringkali membuat status galau di medsos, untuk belajar sastra. "Yang pasti, saya ingin gandrung saya kepada sastra ini dapat menular ke banyak orang," pungkasnya. (fn/FN/MK)