Posted on 23 Jan 2018
Tidak seperti di beberapa negara maju, langkah pengembangan pertanian organik di negeri ini masih tersenggal-senggal. Padahal manfaat pertanian organik telah diketahui luas. Tidak hanya baik untuk kesehatan saja, melainkan juga jawaban atas persoalan degradasi lingkungan hidup.
Hal yang membuat pertanian organik sulit berkembang, salah satunya karena produk organik dianggap sebagai produk premium. Harganya mahal, hanya tersedia di outlet-outlet kaum elit. Akibatnya hanya segelintir kalangan yang sanggup membelinya secara terus-menerus.
Berangkat dari kenyataan ini, Sobri dan dokter Luluk asal Tlogowungu Pati merasa tertantang. Menurutnya pangan organik seharusnya bisa diakses oleh semua kalangan. Toh, nenek moyang bangsa Indonesia sejak jaman dahulu sudah terbiasa mengkonsumsi pangan organik dengan harga yang tak mahal.
Ia pun menyulap satu hektar lahan pertanian di daerah Langse Margorejo menjadi rintisan pertanian organik. Mereka pun getol mengkampanyekan pangan organik dan bahkan bersedia memberikan bimbingan bagi petani yang tertarik memulai pertanian organik.
Di desa Langse, kedua penggagas ini lantas menunjuk Kelompok Tani Kembang Joyo di bawah kepemimpinan Siti Nur Khalimah untuk mengolah lahan pertanian yang ada menjadi pertanian organik.
Menurut Siti Nur Khalimah yang juga merupakan pelaksana harian Kelompok Tani Kembang Joyo, sistem pertanian organik di desa Langse ini sudah dimulai sekitar 6 bulan yang lalu, dengan menggunakan pupuk dari kotoran hewan. "Adapun jenis tanaman yang sedang dikembangkan antara lain, kedelai, jagung, singkong, ubi jalar, padi jenis gogo, dan juga sayuran", terangnya.
Kesemua biaya pengelolaan dan pembangunan pertanian ini, lanjutnya, bersumber dari para kantong Sang Penggagas.
Saat ditanya tentang perbedaan antara hasil panen dari sistem organik dan non organik, Siti Nur Khalimah punya jawaban menarik. "Jelas berbeda, dari segi kualitas jelas beda. Kalau dari organik tidak mengandung bahan kimia berbeda dengan non organik. Lalu untuk sayuran organik lebih cepat lunak ketika dimasak", imbuhnya.
Mengenai lahan, menurutnya, semua lahan bisa digunakan sebagai pertanian organik, namun perlakuan pada tanah akan berbeda, apalagi jika lahan sebelumnya selalu memakai pupuk non-organik.
Untuk pemasarannya, ia mengaku sementara ini pihaknya masih memprioritaskan untuk kalangan sendiri atau masyarakat sekitar dulu.
Jika areal semakin luas dan hasil pertaniannya semakin bertambah banyak, pihaknya mengaku tak khawatir dengan pemasarannya. "Sekarang tren nya kan kesadaran tentang hidup sehat dengan makanan organik semakin tumbuh baik. Bahkan banyak orang yang saat ini mau membayar mahal untuk membeli makanan organik", terangnya.
"Untuk kedepannya di lokasi ini juga akan kami gagas wisata petik langsung dari kebun. Setelah itu bisa langsung dimasak di tempat atau di bawa pulang", terangnya.
Untuk areal pertanian, Siti Nur Khalimah mengatakan bahwa luasnya baru satu hektar. "Rencana ke depan kami juga ingin memperluas area tanam sistem organik ini agar bisa dipasarkan dan semakin dinikmati masyarakat Pati pada umumnya", harapnya.
Ia pun tak menolak jika ada petani yang berminat belajar dan mengunjungi kebun organik Langse sekaligus berkonsultasi dengan tim.
"Bila petani yang belum mencoba pertanian organik saya harap tidak takut untuk mencoba. Pertanian organik tak selalu identik dengan modal yang mahal dan besar, tinggal kemauan petani saja untuk beralih ke organik", pungkasnya. (fn4 /FN /MK)