Posted on 17 Nov 2017
Salah satu pemuda yang saat ini getol melestarikan seni tradisi Gong Cik, Faozi memaparkan, sesuai dengan namanya Gongcik berasal dari dua suku kata yakni Gong yang berarti alat musik tradisional Gong dan Cik yang merupakan kata dasar dari kata "mencik" yang berarti pencak silat atau Tari Pencak.
Namun para tokoh sepuh Pencak Silat di Pati kurang setuju jika Gong Cik disebut Tari Pencak. Sebab kata “tari” cenderung lebih menitikberatkan pada unsur tari yang menampilkan keindahan gerak. Meskipun gerakannya diambil dari unsur-unsur pencak silat.
"Jadi Gong Cik itu merupakan bagian dari Pencak Silat dan bisa digunakan sebagai untuk membela diri jika dilatih dengan rutin," ungkapnya.
Keberadaan bela diri Gongcik sendiri, kata Faozi, merupakan kamuflase dari bela diri yang dilarang pada zaman penjajahan Belanda. Sebab, kala itu para Pendekar yang ingin menyebarkan Pencak Silat terbentur pada larangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial.
Untuk menyiasati, dibuatlah Gong Cik agar Pencak Silat tetap boleh diajarkan. Penampilan Gong Cik disuguhkan kepada masyarakat umum, misalnya dalam upacara pernikahan, sedangkan bela dirinya tetap diajarkan secara sembunyi-sembunyi. “Kalau untuk pernikahan, sampai sekarang masih digunakan,” terang warga Desa Pesucen, Kecamatan Trangkil.
Ketua Gongcik Pasucen itu menjelaskan, dalam pelaksanaan pernikahan bela diri gongcik digunakan sebagai peristiwa dramatik ketika pihak pengantin laki-laki mendatangi pengantin perempuan. Pihak laki-laki membawa membawa simbol berupa ayam jago, sedangkan pihak perempuan membawa beras kuning dan uang koin. Kedua pihak tersebut terlibat dalam sebuah adegan yang berisi tentang penolakan pihak perempuan atas keinginan pihak laki-laki.
“Kalau dalam dialog itu misalnya seperti ini. Wonten nopo kok tindak mriki. Kulo badhe mendhet babon. Yo ora iso. Nek mboten angsal, kulo mekso. Nek ngono piye karepmu. Kira-kira begitu, bergantian antara pihak perempuan kemudian dijawab oleh pihak laki-laki. Akhirnya ditentukan dengan adu kanuragan antara pihak laki-laki dan perempuan," jelas Faozi.
Dalam pergulatan itu, pemenang ditentukan oleh pihak siapa yang berhasil meraih mahkota yang dikenakan masing-masing jago. Mahkota, lanjut Faozi, merupakan benda yang dipakai di kepala oleh para jago, sebagai simbol kehormatan. Bisa berupa peci, blangkon atau benda semacamnya. Sedangkan pergerakan para pendekar tersebut, tertata dan teratur sesuai dengan ketukan gong dan kendang. Baik semakin cepat atau melambat.
“Siapa yang mahkotanya direbut, berarti kalah. Di berbagai daerah lain, adu yang dilakukan bisa bukan diwujudkan dengan sabung kanuragan. Seperti adu pantun atau lainnya,” beber Faozi. (fn/FN/MK)