Posted on 30 Sep 2017
Pengalaman 10 tahun bekerja di home industry pembuatan perabot rumah tangga tidak membuat Tugi,45, puas. Ia nekat keluar dari pekerjaannya. Bahkan, ia menggadaikan rumah untuk membuka usaha pembuatan kubah. Kini, ia mampu menuai hasilnya.
RUMAH yang cukup besar di ET 1/RW I itu menyambut Humas Setda saat akan mewawancarai pengusaha ini. Di rumah itulah Tugi mengembangkan usaha kubah. Sejumlah kubah besar nampak di beberapa titik halaman rumahnya.
Sambil menunjukkan barang hasil produksinya, Tugi menceritakan, saat ini sudah memiliki 15 karyawan. Mereka membuat kerajinan kubah masjid yang akan dipasarkan ke sejumlah daerah di Indonesia.
“Saat ini pengerjaannya dibantu 15 karyawan. Tidak hanya warga Pati saja yang memesan. Sejumlah warga luar daerah, bahkan luar Jawa juga ada yang memesan,” katanya kemarin.
Pria kelahiran Rembang, 12 Januari 1972 nampak semangat menceritakan beberapa jenis kubah yang diproduksinya. Di balik kisah suksesnya saat ini, ada cerita unik dan inspiratif bagi orang yang ingin berwirausaha.
“Sebelumnya tidak pernah terbayangkan punya seperti ini. Sebab, dulu saya hanya menjadi kuli di industri rumahan yang membuat perabotan rumah selama sepuluh tahun,” ungkapnya.
Ia menceritakan, tak menyelesaikan sekolah menengah pertama (SMP), meski tanah kelahirannya Rembang, ia nekat bekerja di Pati. Waktu itu, ia langsung bekerja di tempat pembuatan perabot rumah tangga itu.
“Di tempat saya bekerja, memang ada beberapa warga yang meminta dibuatkan kubah. Sebab, bahan dasarnya sama yakni stainless. Dari sana, saya belajar membuat kubah,” paparnya.
Dari pengalamannya membuat kubah, ia berpikir untuk membuka usaha sendiri. Karena tidak memiliki modal yang cukup, ia sempat ingin mengurungkan niatnya. Namun, karena kondisi yang mendesak, akhirnya ia nekat keluar dari tempatnya bekerja.
“Waktu itu, saya nekat keluar dari pekerjaan saya. Karena keterampilan yang saya miliki membuat kubah, akhirnya berpikir untuk membuka usaha tersebut,” ucapnya.
Setelah mempertimbangkan dengan matang, akhirnya pada 1997 ia nekat menggadaikan rumahnya. Uang yang didapatkan dari gadai itu digunakan untuk modal usaha. “Rumah saya gadaikan hanya dapat Rp 3 juta. Uang itu saya gunakan untuk modal. Kalau sukses alhamdulillah, kalau rugi ya nguli lagi,” bebernya.
Seiring berjalannya waktu, usahanya terus berkembang berkat ketekunan dan kesabarannya dalam menjalankan usaha. Meski begitu, ada saja tantangan yang dialalui. Ia pernah dikucilkan sebagian orang dalam menjalankan usahanya.
“Bahkan saya pernah divonis sesama pengusaha kubah bahwa usaha ini tidak akan bisa maju. Sebab, mereka mengancaman wilayah pemasaran sudah dikuasai. Ejekan, cacian bagi saya itu sudah kebal. Karena sejak kecil memang saya itu sering jadi bahan caci maki oleh teman-teman saya,” paparnya.
Dengan keyakinan dan semangat yang tinggi, ia menjawab caci maki dari orang-orang dengan kesuksessanya. Dalam satu bulan, ia mengaku bisa mendapatkan omset sekitar Rp 80 juta dengan laba kurang lebih menjapai Rp 20 hingga Rp 30 juta. Untuk harga yang dipatoknya pun bervariatif mulai yang paling murah seharga 400 ribu per 40 cm sampai yang paling tinggi senilai 190 juta per 12 meter.
“Saya bekerja sama dengan beberapa agen yang ada di luar Jawa. Saat ini ingin mengembangkan pemasarannya sampai ke luar negeri. Pernah dapat pesanan dari Malaysia, namun masih terkendala dengan administrasinya seperti mengurus permit juga peraturan dagang keluar negeri,” imbuhnya. (fn/FN/MK)