Posted on 26 Okt 2017
Meski tidak ngetren, jurusan sastra Jawa menjadi pilihan Moh Taufiqul Hakim. Berkat ketekunannya, Mahasiswa UGM ini sering anjangsana, mempresentasikan sastra Jawa ke berbagai negara.
HAKIM, sapaan akrabnya. Dialah pemuda yang begitu tertarik mendalami sastra Jawa. Ketertarikan itu bermula ketika sosok guru bahasa Jawa bernama Suudi. Saat itu, alumni MA Salafiyyah Kajen ini masih duduk di kelas VIII MTs.
“Awalnya memang saya itu kagum melihat Mbah Suudi. Meski sudah sepuh tapi tetap semangat, bahkan ketika tidak diperhatikan murid-muridnya,” ungkapnya.
Kekaguman kepada seorang guru itu, menjadikan hati Hakim tergerak untuk memelajari berbagai buku sastra Jawa. Saat itulah Hakim menyatakan bahwa dirinya menemukan keindahan di sana.
“Bukan hanya bahasanya yang indah, namun aksara hingga misteri makna yang tersirat lewat susunan kata menjadi eman jika begitu saja dilewatkan. Akhirnya saat kuliah saya pilih sastra Jawa,” bebernya.
Meski jurusan sastra Jawa tidak ngetren, bahkan cenderung dihindari jika dipandang dari prospektif pekerjaan, Hakim mengaku bukan menjadi persoalan. Ketegasan menentukan pilihan itulah yang akhirnya berjumpa dengan peluang.
Minimnya ahli terkait kitab kuno atau filolog, baik secara linguistik maupun sastranya. Terbukanya sasaran tembak itu, akhirnya membuat Hakim semakin termotivasi untuk terus mendalami ilmu sastra Jawa.
“Memang sekarang keberadaan Filolog itu sangat minim. Bahkan jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pemuda kelahiran Blora, 28 Juni 1993 ini rajin dan terus memburu berbagai buku sebagai penunjang baik ketika diskusi hingga penulisan jurnal ilmiah. Hakim mengatakan, sempat merasa aneh pada awal langkahnya menekuni kasya sastra Jawa. Namun, dari berbagai karya buah ketekunan itulah, dirinya banyak mendapat kesempatan menjadi pemakalah di berbagai negara. Baik lingkup Asia maupun Eropa.
Di antaranya adalah Malaysia. Di negara tetangga itu, Hakim mengaku sedikitnya dua kali diundang untuk membedah kesusastraan jawa dan melayu klasik. Sebuah karya Hakim, juga sempat dikaji di Jerman. “Kalau di Malaysia itu saya diundang untuk membedah kesusastraan Jawa dan melayu klasik. Kalau yang Jerman itu terkait tulisan saya tentang perang Baratayuda,” terangnya.
Pengalaman menarik itu, membuat Hakim semakin semangat. Bukan lagi tentang sastra Jawa, dirinya juga membentangkan sayap kepada alat musik gamelan dan pertunjukan wayang.
Hakim juga mengaku mendalami sejumlah bidang sastra Jawa. Seperti Bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, maupun Jawa Baru. Selain itu, juga kitab-kitab yang beraksara Arab Pegon dan berbahasa Melayu. Saat ini, bersama rekannya, Hakim tengah melakukan penelitian tentang naskah Jawa terkait Babad Pati. “Jika berjalan lancar, penelitian itu akan diseminarkan di Jepang akhir tahun ini,” jelasnya. (fn/FN/MK)