Posted on 07 Agu 2017
KOTA - Agar kode etik jurnalistik bisa dipahami secara baik oleh setiap wartawan, perlu adanya organisasi yang memberikan pemahaman tentang perusahaan pers. Lantaran saat ini banyak media yang tidak mengunakan kode etik jurnalistik dan bias berdampak buruk bagi keberlangsungan pers. Kehidupan pers akan sehat apabila unsur di dalamnya, mulai wartawan, perusahaan, hingga organisasi wartawan tertata dengan baik.
Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Sasongko Tedjo mengatakan, wartawan merupakan sebuah profesi yang memiliki harkat dan martabat. Tak ubahnya profesi lain, seperti dokter dan pengacara.
“Sehingga setiap wartawan harus mengetahui tupoksi pers, sebagai media kontrol, independen serta menjaga netralitas dari berbagai kepentingan,” terangnya saat sosialisasi kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang dirangkai dengan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Pati, beberapa waktu lalu.
Dengan memegang kode etik jurnalistik, transfer knowledge pada masyarakat serta mencerdaskan. Sebagai ujung tombak pers, wartawan juga perlu memenuhi dua persyaratan mutlak.
"Ada dua syarat profesi. Yakni mempunyai kompetensi dan kode etik. Jadi, wartawan juga harus kompeten dibidang jurnalistik dan berperilaku serta bertindak etis," ujarnya dalam acara yang berlangsung di ruang Pragola SetdaPati.
Untuk memenuhi dua syarat tersebut, maka wartawan perlu mengikuti uji kompetensi. Sejak 2012, uji kompetensi wartawan telah digelar sebanyak 160 kali dan meluluskna 8.000 wartawan. PWI sebagai salah satu organisasi profesi yang berhak menggelar sertifikasi wartawan menyumbang lebih dari 80 persen wartawan bersertifikasi.
“Selain itu untu menekankan agar perusahaan media juga memenuhi ketentuan yang berlaku. Sesuai amanat UU Nomor 40 tahun 1999, perusahaan pers harus berbadan hukum. Badan hukumnya harus di bidang media massa, bukan yang lain. Itu tidak bias ditawar karena sudahmenjadi ketentuan undang-undang," paparnya. (fn/FN/MK)